Pages

Kamis, 31 Januari 2008

................



"i'm running out of time i'm out of step and
closing down and never sleep for wanting hours
the empty hours of greed and uselessly always
the need to feel again the real belief of
something more than mockery if only i could
fill my heart with love"

The Cure
(Closedown)


suatu malam [pada lima tahun yang lalu]... teringat indahnya tatapmu yang menatap dingin langit di atas Cirebon. [ya, Cirebon, bukan Paris, atau London]

[Masih terjebak dalam fananya waktu...] Tapi apalah arti waktu.. "yang fana adalah waktu, bukan" [sdd] tanpa jenuh aku terus menggunakan kutipan syair itu.. seperti apakah kefanaan?

[apakah seperti orgasme hidung belang setelah menggagahi penjaja nafsu. catat: nafsu, bukan cinta. karena mungkin tidak ada cinta. lalu apa yang membuatku fatalis berharap akanmu?]

[apakah kecantikanmu juga fana? begitu pula dengan tatapmu? yang tajam menyeruak, menerawang, memandangi gerimis di Caringin itu?]

pada suatu ketika, terucap kata dari bibirmu, yang melalui untaian kawat kabel Telkom, lalu menghujam tepat di jantungku:
"penting ya, jadi cantik?!"
ahhh, puan... andai saja kau tahu cantikmu yang fana itu menaklukkan beberapa hati tuan. yang untungnya menjadi mati karena dinginmu.

yang untungnya bukan aku yang mengatakan mencintaimu karena kamu cantik. karena puan, berjuta bintang di langit juga cantik. bagitu pula dengan lembayung senja. tapi tak menjadikan satu tuan pun gila hingga takluk. seperti takluk di hadapmu. mengapa dia tidak bersimpuh ingin selalu bersama lembayung senja, atau langit berbintang. tapi ingin selalu bersamamu. apa karena tatapmu lebih indah dari lembayung itu? atau apa karena dia tidak bisa mensetubuhi indahnya langit malam? karena cintakah orang rela untuk mengikat janji untuk kemudian disetubuhi...? ahh.. pasti ada alasan yang lebih dari itu. mari kita coba cari tahu..

[entah kenapa aku lebih menghargai orang yang menikah karena alasan yang lebih transenden: tuntutan dakwah, manhaj para nabi... ahhh... andai saja aku bisa mencintaimu karenaNya. bukan karena cantikmu, atau tatapmu, atau mungkin anumu... tapi tidak.. bahkan aku tidak pernah memiliki fantasi apapun tentangmu. bukan berarti tidak bisa bernafsu akanmu, tapi ada yang lebih bergetar selain anuku... hanya saja kamu tidak pernah mau tahu: hatiku!]

lagipula puan, aku tak percaya cinta. bukan.. bukannya tak percaya. katakan saja belum. karena terlalu rumit semiotika itu. maukah kau mengajarkan itu: tak perlu rumus-rumus rumit itu, puan.

puan, kefanaan apakah yang terasa begitu abadi:
merekonstruksi wajahmu. juga perasaanku akanmu.
adalah sebuah keanehan apabila orang yang tidak percaya cinta seperti aku, terus memiliki perasaan kepada seseorang yang dingin seperti kamu, puan...

[aaahhhhhh... entah apa makna kata tulisan ini. racauan. yang pasti tidak akan pernah terbaca (ya, terbaca.. bukan dibaca) olehmu...

*if only i could fill my heart with love*

gajelasgajelasgajelasgajelasgajelasgajelasgajelasgajelas
gajelasgajelasgajelasgajelasgajelasgajelasgajelasgajelas
gajelasgajelasgajelasgajelasgajelasgajelasgajelasgajelas

Senin, 28 Januari 2008

For Smiling General

Ketika tujuh langkah kaki terakhir iringan upacara kenegaraan berakhir: Keluarga Cendana, SBY, JK, kroni, kerabat, dan utusan negara sahabat meninggalkanmu sendiri. Kemudian datang Munkar dan Nakir....

Masihkah kau tersenyum, Jendral?

Ingatkah kau dengan ribuan orang yang kau tindas:
yang tanahnya kau rampas untuk kepentinganmu sebagai Bapak Pembangunan,
yang bapak atau ibunya dibunuh untuk mempertahankan kekuasaanmu,
yang anaknya kau renggut dari pelukan orang tua karena mengkritik kebijakanmu,
yang masa depannya kau hancurkan karena cap Komunis atau Islam Ekstrimis.

Mungkin karena itulah Tuhan menciptakan surga dan neraka. Sebagai tempat pengadilan sebenarnya. Dan tak akan ada hakim yang bisa dibunuh atas pesanan putra bungsumu. Dan tak akan ada jaksa yang bisa disuap oleh kroni-kronimu.

Maaf, Jendral. Sekali lagi maaf. Kami juga sudah memaafkan Jendral. Namun memaafkan bukan berarti melupakan. Memaafkan berarti menyerahkan keadilan kepadaNYA. Terlalu banyak jiwa yang tertindas akibat kekuasaanmu, Jendral.. Semoga NYA juga memberikan qishos setimpal atas perbuatan yang kau lakukan.

Karena apabila tidak, NYA tidak layak untuk disembah. NYA tidak benar-benar mendengarkan doa hambanya yang terzholimi. Yang mati: karena mempertahankan haknya yang dirampas; atau karena menolak tunduk terhadap burung thogut yang membawa lima sila;

Maaf, Jendral. Tulisan ini bukan karena tendesi kebencian akanmu. Hanya saja, kami tidak ingin martir-martir kami, syuhada-syuhada kami, mati dengan sia-sia.

Begitu pula dengan korban Petrus (Penembakan Misterius): orang-orang yang dianggap jahat oleh pemerintahanmu, tetapi mereka juga punya hak untuk hidup. Dan Jendral, kau bukanlah orang yang berhak atas nyawa siapapun, sebanyak apapun catatan kriminal orang tersebut.

Selamat menempuh persidangan, Jendral... Apapun yang NYA putuskan, kami ikhlas!


dari mantan rakyatmu

Sabtu, 26 Januari 2008

Munir dan Garuda (Sebuah Ironi Menyedihkan)

     Ada adegan menyedihkan yang terdapat di sebuah film dokumenter tentang Munir. Jadi sewaktu itu Suciwati, istri Munir, bertanya ke suaminya: "Mas, kenapa kok milih Garuda? Firasat saya kok enggak enak. Kenapa ngga naik yang lain aja?"
    Kemudian Munir menjelaskan. "Saya ini naik Garuda bukannya kenapa-kenapa. Karena gimana pun juga Garuda itu kan punya Pemerintah. Jadi duitnya ke rakyat juga. Dibanding saya naik yang lain (Singapore Airlines, Luthfansa, dll).."
    Tapi... Ternyata eh ternyata... Dalam perjalanan ke Belanda itulah Munir meninggal. Diracun Arsenik.
    Hidup itu memang seringkali lucu, ya?! Sering kita punya idealisme: demi rakyat, demi bangsa, demi agama, demi-demi lainnya (ngga termasuk demi moore, demi persik, atau demi sandra, btw, sandra demi *dewi maksudnya* cantik juga, ya kan?!) Ironis kalau ternyata idealisme itu yang membunuh kita.
    Sekedar catatan, mungkin kata "Garuda membunuh" adalah sebuah kontroversi. Tapi beberapa fakta persidangan bilang kalau ada beberapa orang Garuda terlibat: antara lain sang pilot Pollycarpus, dan sang Dirut Indra Setiawan. Beberapa juga mengaitkan kematian misterius Baharuddin Lopa di Arab Saudi setelah perjalanan dengan Garuda(?).
    Arrrrrgggggghhhhhhhhhhhhh..... Gw BENCI POLITIK! KOTOR! LUMPUR! NISTA!

*Renungan sepulang nongkrongin rumah Polly yang akhirnya divonis 20 tahun penjara. Sayangnya, gw masih merasa Polly sekedar tumbal. ngga ada orang BIN (bukan instansi intelejen sebenarnya) yang ditangkap.*

Kamis, 10 Januari 2008

Doa Seorang Reporter untuk Soeharto

Tuhan...

Kalau Kau berniat mengambil nyawa Soeharto, tolong jangan diambil pas weekend ya. Saya ingin menikmati liburan, Tuhan. Kalau bisa cabut nyawa Soeharto hari Selasa aja. Jadi kita sibuk dari Selasa sampai Jumat aja. Dan Tuhan, please... Jangan ambil nyawa Soeharto antara tanggal 18 - 20 Januari, ya. Saya udah ada rencana liburan brg temen2 kampus dulu.

Tuhan, tolong bilangin keluarga Soeharto dong... Pemakaman diadakan secara sederhana aja. Jadi kita ga perlu sibuk m'hubungin banyak pihak yang terkait dengan pemakaman. Trus kalo bisa dikuburnya di Kalibata aja. Soalnya parkirnya agak gede. Jadi kan motor saya bisa diparkir secara aman.

Tuhan, tolong bilangin keluarga Soeharto juga dong... Kalo bisa, setelah Soeharto meninggal, mereka jadi Muhammadiyah aja. Jadi ga akan pake acara selametan segala. (tapi jangan deh, ntar mba Tutut malah dipasangin brg Din Syamsuddin di 2009) Kan kasihan para reporter kalo sampe begadang cuma karena selametannya Harto. Atau sekalian jadi Jamaah Tabligh jg gpp. Siapa tau mereka tiba-tiba zuhud banget, dan hartanya dibagi ke rakyat miskin.

Tapi Tuhan, apabila Kau berkehendak menyembuhkan HMS, tolong jangan lama-lama, ya.. Jangan cabut nyawa HMS juga pas Piala Eropa. Kasian kami dong para pecinta bola. Nanti yg ada siaran live-nya cuma pemakaman Eyang..

Terima kasih, Tuhan...

HambaMu,
Reporter Kere