Pages

Rabu, 20 Februari 2008

How Do I Love Thee? (Elizabeth Barrett Browning)


Rating:★★★★
Category:Other
How do I love thee? Let me count the ways.
I love thee to the depth and breadth and height
My soul can reach, when feeling out of sight
For the Ends of Being and ideal Grace.
I love thee to the level of everyday's
Most quiet need, by sun and candle-light.
I love thee freely, as men strive for Right;
I love thee purely, as they turn from Praise.
I love thee with the passion put to use
in my old griefs, and with my childhood's faith.
I love thee with a love I seemed to lose
With my lost saints,--I love thee with the breath,
smiles, tears, of all my life!-and, if God choose,
I shall but love thee better after death.

[Puisi yang ngingetin akan masa lalu. Manis... Bikin ngarep... Cukup populer, karena gw sering denger juga di beberapa film, lupa judulnya apa aja.]

Sabtu, 16 Februari 2008

........ | ...---... | ........

    Kebetulan saja hari itu 14 Februari (jadi ingat tulisan seorang teman). Beberapa sibuk dengan urusan melankoli merah jambu.. Tapi puan, apa lagi makna melankoli itu bagiku. Sedangkan saat itu, di suatu gedung di kuningan, yang katanya 'markas pemberantas tikus' itu, aku berkutat dengan banyak pikiran: Bahwa tidak ada lagi yang bisa dipercaya di negeri ini.
    Benar, puan. Di depan markas 'mice buster' itu, aku seakan menjadi bagian dari  skenario besar sandiwara negeri ini: Mengabarkan orang akan hal tak penting. Beberapa orang diperiksa, namun hanya tikus-tikus kecil yang ditahan.
    Andai puan bisa melihat wajah sendu tikus-tikus kecil yang dikorbankan: Pucat-pasi, terdiam-kaku, dengan sorot mata pasrah yang mengharapkan belas kasihan. Apa yang sedang dilakukan tikus-tikus besar saat itu: Sibuk koordinasi di Senayan? Ataukah memang benar sedang merencanakan skenario besar lain di Darmawangsa? Terlibatkah para pemberantas tikus dalam skenario besar itu? Entahlah, puan. Lebih baik aku gila karena memikirkanmu, dibanding gila karena itu.
    Bukan, puan. Aku bukan politisi, pengamat politik, apalagi ideolog yang menginginkan banyak hal untuk negeri. Jiwa ini terlalu rapuh untuk memimpikan sebuah negeri yang merdeka 100%, seperti yang dipikirkan Tan Malaka. Hati ini juga terlalu rapuh untuk sekedar mengucapkan harapan akan sebuah negeri yang adil dan makmur. Bukankah itu tujuan pendiri bangsa ini dalam memperjuangkan sebuah kemerdekaan? Terlalu lelah aku mendengar itu, puan.
    Mungkin bukan hanya aku yang lelah karena itu. Tapi, puan, kemudian mereka mereka menciptakan sebuah pelarian: Seperti Thomas More yang kemudian 'menciptakan' Utopia. Atau J. M. Barrie yang menghadirkan Neverland. Bahkan beberapa benak berharap konstruksi negara ideal ala Madinah zaman Rasulullah pun bisa kembali tercipta. Aahhh, cukup puan yang membuatku lelah dalam berkonstruksi....
    Lebih parah, bahkan aku tidak tahu lagi apa yang aku inginkan, puan. Jika memang benar kalau ingin adalah sumber penderitaan, cukup menginginkan puan sajalah penderitaan itu berasal. Tapi adakah rasa cukup manusia terhadap ingin? Zuhud terhadap hasrat?
     Aku lelah, puan. Dengan segala hal yang terus berkecamuk tanpa henti, dalam benak atau dalam hati. Skeptis: Tanpa kepercayaan, tanpa keinginan. Benar, puan. Puan hadir saat kepercayaan dan keinginan itu masih ada. Jadi mungkin aku lebih merindukan masa-masa itu, bukan semata kehadiranmu.
     Kebetulan saja malam itu 14 Februari. Namun entah kenapa, aku jadi teringat satu bait dari sebuah lagu, malam itu. Dan ini mengingatkanku akan kamu, puan.

you are my compass star
you are my measure
you are my pirate's map
of buried treasure...

(Sting: Ghost Story, Brand New Day, 1999)

Selasa, 12 Februari 2008

Siapa Berani Kudeta "Caping"-nya GM?!

Itu tadi tantangan: Karena sejak beberapa kali Majalah Tempo ganti Pemred, belum ada satupun yang kudeta halaman "Catatan Pinggir"-nya Goenawan Muhamad.

Terus terang gw salah satu penggemar "Caping". Sebagai sebuah esai, GM bisa membawakan hal-hal berat dalam bahasa 'cukup' ringan. Pun dengan berbagai analagi yang menarik, kontemplatif, juga terlihat wawasan luas GM akan buku-buku yang dia baca.

Tapi kelamaan Gm terlihat emosional di Caping. Beda sama waktu GM berbeda pendapat sama Pram, misalnya, yang lebih bersifat perenungan. Sekarang GM lebih menggebu-gebu dalam permusuhannya dengan Islam Fundamentalis, MUI, bahkan juru sensor. Bayangin, juru sensor juga diserang. Padahal pihak yang dianggap bermasalah sama GM itu Lembaga Sensor Film, secara institusi, bukan juru sensor secara personal.

Tapi, udahlah. Ngga penting. Yang penting buat gw: Kapan ya ada Pemimpin Redaksi Majalah Tempo yang berani menggusur halaman "Caping" dengan halaman yang khusus ditulis Pemred. Karena gw yakin para pemred itu, dan akan datang, juga punya tulisan yang bagus.

*Para oposisi dominasi itu ternyata lupa kalau ada dominasi lain yang melingkupinya....*